Change Your Self to a Star

Change Your Self to a Star

Senin, 15 Februari 2010

”Tinjauan yuridis terhadap perpaduan sistem judicial review dan legislative review dalam pengujian peraturan perundang-undangan sebagai upaya perwujudan check and balance dalam penyelenggaraan kekuasaan ”

Sejak kemerdekan Indonesia undang-undang diperlakukan “sakral”, termasuk UUD 1945 dan Tap MPR. Secara tegas undang-undang dapat diuji berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. MPR satu-satunya yang berhak menguji dengan anggapan sesuai struktur ketatanegaraan. Sehingga MPR menguji konstitusionalitas dapat dengan pembatalan (invalidation) abstrak-formal dan kekuasaan Mahkamah Agung (MA) mengadili perkara dengan pembatalan praktikal.[2] Pasal 11 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menambah wewenang MA menyatakan tidak berlaku peraturan di bawah undang-undang melalui pembatalan abstrak-formal dengan permohonan langsung.
Kekuasaan MPR menguji undang-undang meskipun dibenarkan, akan tetapi memiliki banyak kelemahan yaitu MPR sebagai lembaga politik, alat-alat kelengkapan dan sidang-sidang MPR tidak mendukung, konflik norma hukum tidak layak ditetapkan konstitusionalitasnya dengan voting, masalah hukum berubah menjadi masalah politik serta MPR menguji undang-undang pada dasarnya menguji produknya sendiri karena DPR sebagai unsur utama MPR.
MPR hampir tidak pernah menguji produk DPR dan presiden, baik semenjak MPR terbentuk, maupun setelah tahun 2000 sejak ditegaskan hak mengujinya. MPR pernah melakukan pengujian berdasarkan Tap MPRS No. XIX/MPRS/1966 jo No. XXXIX/MPRS/1968 tentang peninjauan kembali produk-produk legislatif di luar MPRS yang tidak sesuai UUD 1945, akan tetapi pelaksanaan pengujian dilakukan sendiri oleh pembentuk undang-undang, bukan oleh MPRS.
Hal ini serupa dengan apa yang terjadi di lingkungan negara-negara komunis, yaitu berlaku doktrin supremasi parlemen (The Supremacy of the Parliament). Dimana konsepsi kedaulatan rakyat secara kolektif selalu dilembagakan ke dalam konsep Dewan Rakyat Tertinggi yang memiliki kedudukan struktur paling tinggi dalam hierarki susunan kelembagaan negara. Lembaga tertinggi inilah yang selalu dianggap berwenang untuk menjadi penafsir UUD, sehingga pengujian konstitusionalitas atas suatu undang undang menjadi kewenangan mutlak lembaga tertinggi ini. Kalo pun suatu undang-undang akan direvisi, diubah ataupun dibatalkan maka yang dianggab berwenang untuk itu hanyalah lembaga yang membuatnya sendiri, bukan lembaga kekuasaan kehakiman. Di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 juga menganut paham demikian, undang-undang hanya dapat diuji dan diubah oleh lembaga yang membuatnya sendiri, yang menurut ketentuan pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 ayat 1 sebelum amandemen yang berwenang membentuk undang-undang adalah presiden persetujuan DPR. Dengan demikian untuk menilai, menguji dan mengubah ketentuan undang-undang itu yang berperan adalah lembaga yang membentuknya sendiri .
Ditetapkannya lembaga tersendiri di luar MA, berdasarkan pemikiran mengatasi kelemahan-kelemahan di atas dan konsekuensi dianutnya dalam UUD 1945 pasca amandemen dengan paham pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks and balances antarlembaga negara. Paham pemisahan kekuasaan ini berpengaruh terhadap mekanisme kelembagaan dan hubungan antarlembaga negara, termasuk penegasan sistem pemerintahan presidensial dengan penataan sistem parlemen dua kamar (bicameralism), pemilihan presiden langsung termasuk soal judicial review.
Dalam menjalankan kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang, MK banyak mendapat kritik mengenai substansi perkaranya dan bagaimana hukum formilnya khususnya masalah ultra petita. Pihak yang menolak ultra petita menganggap MK telah memasuki ranah legislatif, tidak sesuai asas hukum perdata yang melarang ultra petita serta ketentuan ultra petita sendiri tidak diatur dalam UUD 1945 maupun dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
MK merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan disamping MA dan peradilan di bawahnya (Pasal 24 ayat (1) dan (2) Perubahan Ketiga). MK dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan, sehingga MK terkenal disebut the guardian of the constitution. Produk legislatif seburuk apapun sebelumnya tetap berlaku tanpa sama sekali terdapat lembaga yang bisa mengoreksi kecuali kesadaran pembentuknya sendiri yang merevisi atau mencabutnya.
Sedangkan kewenangan lembaga legislatif dalam hal pengujian dan penilaian terhadap produk undang-undang disebut sebagai legislave review. Pengujian ini dilakukan dengan faktor politik terutama DPR sebagai pembuat peraturan perundang-undangan dari segi ketatanegaraan. Pengujian oleh legislatif ini dapat dilakukan sebelum ataupun sesudah produk perundang-undangan tersebut dibuat.
Berdasarkan uraian wacana pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tersebut penulis bermaksud untuk mengkaji lebih dalam tentang perpaduan sistem judicial review dan legislative review dalam pengujian peraturan perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentarnya..