Change Your Self to a Star

Change Your Self to a Star

Selasa, 16 Februari 2010

Tumbangnya para Pendekar Pemberantas Korupsi di Indonesia.

Dua aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson F Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, ditetapkan menjadi tersangka oleh Mabes Polri, terkait dengan pencemaran nama baik Kejaksaan Agung. Mereka ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik/fitnah dengan pasal 311 dan 316 KUHP oleh Mabes Polri (Solopos, 13 Oktober 2009). Para pendekar pemberantas penyakit akut yang diderita bangsa kita ini yaitu korupsi mulai tumbang satu per satu, dimulai dari pentolan Komisi Pemberantasan Korusi yaitu Antasari Azhar yang telah tersandung kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, yang diduga telah melibatkan dirinya sebagai salah satu tersangka dari pembunuhan tersebut. Lalu tak lama kemudian disusul oleh 2 pimpinan KPK lainnya yaitu Candra Hamzah dan Bibit Samad yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penerima gratifikasi dari Direktur PT.Masaro. Serta yang juga mengejutkan lagi adalah dua aktivis ICW yang juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri 12 Oktober 2009 yang lalu.
Mengkritisi kondisi tersebut memunculkan beberapa dugaan apakah hal ini pertanda bahwa memang tak ada gading yang tak retak atau ini adalah serangkaian konspirasi pihak-pihak tertentu untuk menghentikan aksi pemberantasan korupsi di tanah air ini? Jika merujuk pada dugaan pertama, mungkin memang benar tidak ada orang yang sempurna bahkan beliau-beliau yang diamanatkan untuk mengemban tugas memberantas korupsi justru berperilaku sebaliknya. Tentunya dalam hal ini moral dan akhlak akan menjadi hal yang paling disorot terkait penyebab tumbangnya para pendekar pemberantas korupsi tersebut. Sesempurna dan sehebat apapun senjata yang digunakan akan sia-sia saja jika digunakan oleh pendekar yang tidak memiliki moral dan akhlak yang benar. Begitulah analogi yang dapat digambarkan untuk lembaga sesempurna dan sehebat KPK dan ICW yang tentunya akan percuma jika para pemimpinnya tidak memiliki akhlak dan moral yang baik sebagai pemegang amanah.

Namun akan lebih ironis jika kita merujuk pada dugaan yang kedua yaitu mungkinkah ini adalah serangkaian konspirasi dari pihak-pihak yang ingin menghentikan aksi-aksi pemberantasan koruspi di tanah air? Sebab pemberantasan korupsi di Indonesia ini sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Sebenarnya beban ini sangat terasa berat jika hanya dipikul oleh KPK saja tanpa dukungan dari berbagai pihak yang berwenang untuk memberantas korupsi di Indonesia. Apa jadinya Negara Indonesia jika penyakit akutnya ini tidak kunjung sembuh, yang semakin lama semakin menggerogoti jantung hidupnya. Indonesia akan semakin terpuruk dengan kondisi kritisnya dalam melawan penyakit korupsi yang terus menerus mengakar disetiap hela nafasnya itu. Lalu bagaimana dengan anak cucu kita nantinya yang akan kita warisi, apakah keterpurukan ini yang akan kita wariskan pada mereka.

Senin, 15 Februari 2010

Malaysia's Internal Security Act Versus KUHP Indonesia

Perang melawan terorisme mulai gencar diserukan diberbagai dunia dimulai sejak tanggal 11 september 2001, hal ini bertepatan dengan peristiwa pengeboman gedung WTC Amerika Serikat yang diduga sebagai aksi terorisme. Tak lama setelah itu di Tahun 2002 Indonesia pun mulai dihinggapi oleh beberapa aksi terorisme. Dimulai dari peledakan bom pertama kali di Kuta Bali tanggal 12 Oktober 2002, bom berkekuatan high explosive meledak di Sari Club dan Paddy's Cafe, Legian, Kuta, Bali yang mengakibatkan156 orang tewas hingga aksi mereka yang terakhir di Mega Kuningan Jakarta 17 Juli 2009 yang lalu. Dari peristiwa tersebut mencuatkan beberapa nama pelaku yang diduga sebagai motor penggerak aksi pengeboman tersebut, yaitu Dr Azahari dan Noordin M Top. Kedua pelaku tersebut diketahui ternyata merupakan warganegara Malaysia. Dr Azahari sendiri telah tewas pada penggrebekan di Batu, Malang Jawa Timur tanggal 9 November 2005, sedangkan Nordin M Top tewas pada tanggal 16 September 2009 di Mojosongo, Kota Solo setelah menjadi buronan selama 9 tahun.
Ini hanyalah kilas balik beberapa aksi para teroris asal Negeri Jiran tersebut beraksi di Tanah Air. Hal ini memunculkan pertanyaan, jika mereka dengan aksi terornya tersebut mempunyai misi untuk memusnahkan kaum yang mereka anggap kafir itu, mengapa mereka tidak pula melancarkan aksinya dinegaranya sendiri yaitu Malaysia yang juga banyak orang Asing di sana? Jawabannya adalah karena di Negara Malaysia memiliki Malaysia's Internal Security Act – ISA. Malaysia's Internal Security Act – ISA adalah Undang-undang yang memberikan untuk keamanan internal Malaysia, penahanan pencegahan, pencegahan subversi, yang diatur dari penindasan kekerasan terhadap orang dan properti di Malaysia.
Dalam Undang-undang yang dimiliki Malaysia tersebut menyebutkan “If the Minister is satisfied that the detention of any person is necessary with a view to preventing him from acting in any manner prejudicial to the security of Malaysia or any part thereof or to the maintenance of essential services therein or to the economic life thereof, he may make an order (hereinafter referred to as a detention order) directing that that person be detained for any period not exceeding two years”. Yaitu apabila ada orang yang dicurigai akan membahayakan keamanan Malaysia, maka Menteri berkuasa untuk dapat melakukan penahanan yang disebut sebagai tahanan order dengan tidak melebihi 2 tahun. Dengan Undang-undang tersebut seseorang yang diduga akan membahayakan keamanan negara Malaysia langsung dapat ditahan dengan kurun waktu tidak lebih dari 2 tahun sehingga para pelaku terorisme tentunya akan memiliki ruang gerak yang sangat sempit jika mereka akan beraksi di negara Malaysia.
Lalu bagaimana dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia? Di Indonesia proses penangkapan diatur dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP yang dinyatakan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Adapun yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk adanya tindak pidana. Dari bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilkukan secara sewenang-wenang tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Jadi, penangkapan hanya berdasarakan dugaan saja, tanpa adanya bukti yang cukup tidak boleh dilakukan. Pasal 19 KUHAP disebutkan penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dapat dilakukan paling lama satu hari atau jangka waktu 1 x 24 jam dalam hal pemeriksaan, sedangkan untuk tindak pidana terorisme berdasar Pasal 28, maka Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 jam.
Dari komparasi kedua Undang-undang dua negara tersebut mungkin saja dapat menjawab pertanyaan kita selama ini yaitu mengapa kedua gembong teroris tersebut lebih senang untuk beraksi di Indonesia dari pada di negaranya sendiri yaitu Malaysia. Namun tidak menutup kemungkinan ada faktor lain yang mempengarui mengapa aksi terorime di Indonesia lebih sering terjadi dari pada di negara Malaysia mengingat para pelakunya berasal dari negara Malaysia.

Tinjauan Yuridis terhadap fungsi konstitusi dalam pembangunan struktur hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dilihat dari segi politik hukum”

Pemberantasan korupsi sejak era Reformasi telah melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama pada 1998-2002, melaksanakan kebijakan hukum dalam pemberantasan korupsi untuk memenuhi janji reformasi, terutama terhadap mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, dan dilanjutkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi empat bidang, yaitu hukum di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan; hukum di bidang politik; hukum di bidang sosial; serta hukum di bidang hak asasi manusia. Seluruh perundang-undangan dalam keempat bidang hukum tersebut telah diselesaikan dalam kurun waktu empat tahun pertama, disusul dengan beberapa perubahan atas perundang-undangan tersebut, yang telah terjadi dalam kurun waktu dua tahun selanjutnya sampai 2004. Pembentukan hukum dan perubahan-perubahan yang kemudian telah dilakukan tampaknya belum dapat dilihat keberhasilannya dalam kurun waktu empat tahun tahap kedua (2004-2008), sekalipun dalam penegakan hukum dan regulasi dalam bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan telah menunjukkan hasil yang signifikan untuk memacu peningkatan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pelaku usaha.


Penekanan untuk memacu arus penanaman modal asing lebih mengemuka dibanding perlindungan hukum dan kepastian hukum, baik terhadap pelaku usaha pribumi maupun asing. Masalah kontroversial dalam pembangunan bidang hukum ekonomi, keuangan, dan perbankan masih akan terus berlanjut sehubungan dengan belum adanya kejelasan politik hukum yang akan dijalankan pemerintah sejak era Reformasi sampai akhir 2007. Hal ini tidak mudah karena masih belum ada penafsiran hukum yang sama di antara pengambil keputusan dan para ahli terhadap bunyi ketentuan Pasal 33 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945.


Ketidakjelasan tersebut juga disebabkan oleh semakin lemahnya landasan falsafah Pancasila yang digunakan untuk berpijak dalam menghadapi perkembangan cepat arus liberalisme dan kapitalisme internasional. Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami krisis identitas. Keadaan serius bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas berdampak besar terhadap setiap kebijakan hukum dan penegakan hukum yang akan dilaksanakan pemerintah, siapa pun pemimpin nasionalnya.


Salah satu dampak yang telah teruji kebenarannya adalah kebijakan hukum dan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Refleksi gerakan pemberantasan korupsi sejak kurang lebih 52 tahun yang lampau sarat dengan tujuan memberikan penjeraan dengan penjatahan hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku korupsi disertai keinginan keras untuk sebesar-besarnya memberikan kemanfaatan bagi pengembalian keuangan negara yang telah diambil pelakunya.


Tujuan dimaksud tampak nyata secara normatif dalam empat langkah perubahan ketentuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi (1971-2001), antara lain, ancaman hukuman ditetapkan minimum khusus dan pemberatan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman pidana pokok, terutama terhadap pelaku penyelenggara negara dan penegak hukum. Selain itu, kerugian (keuangan) negara telah ditetapkan menjadi salah satu unsur penentu ada-tidaknya suatu tindak pidana korupsi.

Pola kebijakan legislasi tersebut secara nyata menampakkan filsafat kantianisme di satu sisi dan filsafat utilitarianisme di sisi lainnya; dua pandangan filsafat yang berbeda mendasar dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sejak ditemukannya pada Juni 1945. Namun, kebijakan legislasi pemberantasan korupsi tersebut secara normatif telah dilaksanakan tanpa hambatan-hambatan berarti sampai saat ini. Kendala serius yang menghadang kebijakan legislasi tersebut justru terletak pada faktor-faktor nonhukum dan pola penegakan hukum yang belum secara maksimal diharapkan dapat menimbulkan harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tinjauan Yuridis tentang peranan social control terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintahan”

Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Terlebih Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Oleh karena itu, negara menghendaki setiap perbuatan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.
Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan pada masa kini baik dari segi kualitas maupun kuantitas maka pemerintah merasa perlu untuk membentuk peraturan perundangan di luar kodifikasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjangkau tindak-tindak pidana yang belum ada pengaturannya dalam KUHP. KUHP dan KUHAP dibentuk sebagai perwujudan untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Kepastian hukum tidak saja memberikan perlindungan hukum kepada para justisiable, tapi juga memberikan kepastian antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya, sehingga tidak ada pertentangan diantara peraturan perundangan tersebut.
Demikian juga dengan UU No 31 Tahun 1999 dibentuk untuk dapat mengatasi perkembangan kejahatan yang pengaturannya tidak ada dalam undang-undang hukum pidana. Melihat bahwa korupsi merupakan suatu tindak kejahatan yang sangat merugikan bagi seluruh bangsa Indonesia dan dianggap sebagai penghambat pembangunan nasional, maka pemerintah berusaha keras untuk memberantas korupsi.
Pada dasarnya korupsi dibentuk oleh perilaku kejahatan yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan umum dan hubungan kerja yang mendatangkan sumber keuangan. Oleh karena itu korupsi terjadi melalui kelemahan sistem birokrasi penyelenggaraan pelayanan umum dan kelemahan sistem kontrol pada hubungan kerja yang mendatangkan sumber keuangan, dengan memanfaatkan situasi tertentu dari siklus pertumbuhan negara, perkembangan sistem sosial dan keserasian struktur pemerintah.
Menurut pengertian awam pemakaian istilah korupsi adalah memiliki suatu konotasi dengan “korupsi pejabat” apabila seseorang menerima pemberian yang disodorkan oleh pihak lain dengan tendensi untuk mempengaruhi orang tersebut agar memberikan perhatian pada kepentingan-kepentingannya.
Kasus nyata yang banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat yaitu dalam suatu kantor atau departemen yang banyak dijangkiti korupsi senantiasa terjadi persekongkolan transaksi-transaksi keuangan bersifat ilegal, dimana semua itu cenderung mengatasnamakan efisiensi birokrasi.
Berkaitan dengan hal tersebut saat ini sedang maraknya para pejabat daerah atau pusat yang tersandung jeratan tindak pidana korupsi baik itu karena kesengajaan atau ketidak pahaman prosedur, yaitu dalam hal ini prosedur yang dimaksud adalah proyek pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan yang banyak sekali merugikan keuangan negara.
Menurut data yang diperoleh dari salah satu pimpinan KPK, Kerugian negara akibat korupsi pengadaan barang dan jasa selama 2005 sampai 2009 mencapai Rp689,19 miliar atau 35 persen dari total nilai proyek sebesar Rp1,9 triliun. Hal ini dikemukakan Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tumpak Hatorangan Panggabean, di sela-sela Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Rabu (2/12). "Itu berdasarkan data perkara dari tahun 2005 sampai 2009 yang ditangani KPK," kata Tumpak. Kerugian negara tersebut sebagian besar terjadi karena proses penunjukan langsung dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Jumlahnya mencapai Rp647 miliar atau 94 persen dari total kerugian negara. Sementara sisanya diakibatkan oleh praktik penggelembungan harga, yaitu sebesar Rp41,3 miliar atau enam persen dari total kerugian negara. Tumpak menjelaskan, kerugian negara itu dihitung dari vonis perkara-perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung .
Pengadaan barang/jasa adalah salah satu isu terpenting dalam pengelolaan keuangan daerah. Kegiatan yang selalu tercantum setiap tahun dalam APBD ini sering tidak bisa terealisasi sepenuhnya karena aparatur pemerintah memiliki kekuatiran terjerat perkara korupsi. Pengadaan barang/jasa pemerintah dapat diartikan proyek pembelanjaan dana APBN/APBD untuk kegiatan rutin dan pembangunan yang dapat dilakukan secara swakelola atau oleh pihak penyedia barang/jasa. Praktek pengadaan proyek fiktif, pengelembungan anggaran, pemberian angpau, suap, komisi dan sejenisnya diduga masih membudaya sebagai kesempatan untuk memperkaya diri.
Sejalan dengan bergulirnya reformasi politik, pemerintah berupaya kuat untuk mengurangi menguapnya uang negara dari kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilakukan instansi pemerintah. Selain itu peran pengawasan yang dilakukan oleh instansi non pemerintah semakin meningkat. Sistem pengadaan barang/ jasa juga semakin disempurnakan diantaranya dengan membuat Keppres No 80 Tahun 2003 (sekarang direvisi oleh Perpres No. 8 tahun 2006) yang mensyaratkan transparansi dan akuntabilitas. BPKP dan BPK juga sudah lebih intensif melakukan audit keuangan terhadap proyek-proyek pengadaan barang/jasa yang dilakukan instansi pemerintah. Hal ini tentunya sebagai salah satu upaya yang diharapkan bisa mengurangi tingkat kebocoran pada proyek-proyek pengadaan barang dan jasa di Instansi Pemerintah. Upaya lainnya adalah penegakan hukum yang semakin semakin gencar untuk menangkap pelaku kasus korupsi dari kegiatan pengadaan barang dan jasa ini.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Peraturan Pemerintah dimaksud, antara lain menjelaskan bahwa yang dimaksud peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dilaksanakan dengan menaati norma hukum, moral dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Dengan demikian 2 (dua) hal penting yang perlu diperhatikan elemen masyarakat adalah:
1. Tindakan hukum terhadap pelaku tindak KKN yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara Negara dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN baik di pusat maupun di daerah. Sebab hal yang paling krusial yang kerap terjadi KKN di daerah adalah pengadaan barang dan jasa, pengerjaan dan pengadaan barang harganya kerapkali dinaikkan (mark up) atau tidak sesuai dengan bestek.
Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan dapat lebih terbuka dalam melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap Penyelenggara Negara (aparatur pemerintah daerah) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan yang berlaku.
Dugaan masih banyaknya uang negara yang dikorupsi dari kegiatan pengadaan barang dan jasa adalah karena pemeriksaan proyek yang dilakukan oleh BPK dan instansi lainnya lebih banyak terfokus pada prosedur administrasi dan keuangan. Akibatnya pelaku korupsi merasa aman dan terbebas karena berupaya selihai mungkin membuat laporan administrasi dan keuangan secara benar (sesuai prosedur). Disisi lain motode pemeriksaan proyek saat saat ini kurang mendukung untuk mengukur terselanggaranya prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa terutama yang efisien, efektif, serta akuntabilitas. Oleh karena itu sudah selayaknya dipertimbangkan adanya social control dari masyarakat secara langsung.

”Tinjauan yuridis terhadap perpaduan sistem judicial review dan legislative review dalam pengujian peraturan perundang-undangan sebagai upaya perwujudan check and balance dalam penyelenggaraan kekuasaan ”

Sejak kemerdekan Indonesia undang-undang diperlakukan “sakral”, termasuk UUD 1945 dan Tap MPR. Secara tegas undang-undang dapat diuji berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. MPR satu-satunya yang berhak menguji dengan anggapan sesuai struktur ketatanegaraan. Sehingga MPR menguji konstitusionalitas dapat dengan pembatalan (invalidation) abstrak-formal dan kekuasaan Mahkamah Agung (MA) mengadili perkara dengan pembatalan praktikal.[2] Pasal 11 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menambah wewenang MA menyatakan tidak berlaku peraturan di bawah undang-undang melalui pembatalan abstrak-formal dengan permohonan langsung.
Kekuasaan MPR menguji undang-undang meskipun dibenarkan, akan tetapi memiliki banyak kelemahan yaitu MPR sebagai lembaga politik, alat-alat kelengkapan dan sidang-sidang MPR tidak mendukung, konflik norma hukum tidak layak ditetapkan konstitusionalitasnya dengan voting, masalah hukum berubah menjadi masalah politik serta MPR menguji undang-undang pada dasarnya menguji produknya sendiri karena DPR sebagai unsur utama MPR.
MPR hampir tidak pernah menguji produk DPR dan presiden, baik semenjak MPR terbentuk, maupun setelah tahun 2000 sejak ditegaskan hak mengujinya. MPR pernah melakukan pengujian berdasarkan Tap MPRS No. XIX/MPRS/1966 jo No. XXXIX/MPRS/1968 tentang peninjauan kembali produk-produk legislatif di luar MPRS yang tidak sesuai UUD 1945, akan tetapi pelaksanaan pengujian dilakukan sendiri oleh pembentuk undang-undang, bukan oleh MPRS.
Hal ini serupa dengan apa yang terjadi di lingkungan negara-negara komunis, yaitu berlaku doktrin supremasi parlemen (The Supremacy of the Parliament). Dimana konsepsi kedaulatan rakyat secara kolektif selalu dilembagakan ke dalam konsep Dewan Rakyat Tertinggi yang memiliki kedudukan struktur paling tinggi dalam hierarki susunan kelembagaan negara. Lembaga tertinggi inilah yang selalu dianggap berwenang untuk menjadi penafsir UUD, sehingga pengujian konstitusionalitas atas suatu undang undang menjadi kewenangan mutlak lembaga tertinggi ini. Kalo pun suatu undang-undang akan direvisi, diubah ataupun dibatalkan maka yang dianggab berwenang untuk itu hanyalah lembaga yang membuatnya sendiri, bukan lembaga kekuasaan kehakiman. Di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 juga menganut paham demikian, undang-undang hanya dapat diuji dan diubah oleh lembaga yang membuatnya sendiri, yang menurut ketentuan pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20 ayat 1 sebelum amandemen yang berwenang membentuk undang-undang adalah presiden persetujuan DPR. Dengan demikian untuk menilai, menguji dan mengubah ketentuan undang-undang itu yang berperan adalah lembaga yang membentuknya sendiri .
Ditetapkannya lembaga tersendiri di luar MA, berdasarkan pemikiran mengatasi kelemahan-kelemahan di atas dan konsekuensi dianutnya dalam UUD 1945 pasca amandemen dengan paham pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks and balances antarlembaga negara. Paham pemisahan kekuasaan ini berpengaruh terhadap mekanisme kelembagaan dan hubungan antarlembaga negara, termasuk penegasan sistem pemerintahan presidensial dengan penataan sistem parlemen dua kamar (bicameralism), pemilihan presiden langsung termasuk soal judicial review.
Dalam menjalankan kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang, MK banyak mendapat kritik mengenai substansi perkaranya dan bagaimana hukum formilnya khususnya masalah ultra petita. Pihak yang menolak ultra petita menganggap MK telah memasuki ranah legislatif, tidak sesuai asas hukum perdata yang melarang ultra petita serta ketentuan ultra petita sendiri tidak diatur dalam UUD 1945 maupun dengan Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
MK merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan disamping MA dan peradilan di bawahnya (Pasal 24 ayat (1) dan (2) Perubahan Ketiga). MK dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan, sehingga MK terkenal disebut the guardian of the constitution. Produk legislatif seburuk apapun sebelumnya tetap berlaku tanpa sama sekali terdapat lembaga yang bisa mengoreksi kecuali kesadaran pembentuknya sendiri yang merevisi atau mencabutnya.
Sedangkan kewenangan lembaga legislatif dalam hal pengujian dan penilaian terhadap produk undang-undang disebut sebagai legislave review. Pengujian ini dilakukan dengan faktor politik terutama DPR sebagai pembuat peraturan perundang-undangan dari segi ketatanegaraan. Pengujian oleh legislatif ini dapat dilakukan sebelum ataupun sesudah produk perundang-undangan tersebut dibuat.
Berdasarkan uraian wacana pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tersebut penulis bermaksud untuk mengkaji lebih dalam tentang perpaduan sistem judicial review dan legislative review dalam pengujian peraturan perundang-undangan.

kajian yuridis terhadap pengaturan mengenai pemberhentian presiden pasca amandemen UUD 1945 (sebuah kajian terhadap urgensi fungsi penjelasan dalam UUD 1945)

Negara Indonesia adalah negara hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum serta mendasarkan pula pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. MPR hasil pemilihan umum Tahun 1999, menindaklanjuti tuntutan reformasi yang menghendaki perubahan UUD 1945 dengan melakukan satu rangkaian perubahan konstitusi dalam empat tahapan yang berkesinambungan, sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999 sampai dengan Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.
Perubahan UUD 1945 tersebut dilakukan MPR guna menyempurnakan ketentuan fundamental ketatanegaraan Indonesia sebagai pedoman utama dalam mengisi tuntutan reformasi dan memandu arah perjalanan bangsa dan negara pada masa kini dan yang akan datang, dengan harapan dapat berlaku untuk jangka waktu ke depan yang cukup panjang. Selain itu, perubahan UUD 1945 tersebut juga dimaksudkan untuk meneguhkan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia agar tetap mengacu kepada cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pasca perubahan UUD 1945, maka ada 6 (enam) lembaga Negara yang diberikan kekuasaan secara langsung oleh konstitusi. Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Berkaitan dengan kekuasaan 6 lembaga negara tersebut terdapat perdebatan dikalangan akademisi Hukum Tata Negara mengenai pertanyaan apakah UUD 1945 mengatur pemberhentian Presiden. Ada sebagian mengatakan bahwa UUD 1945 tidak mengatur pemberhentian Presiden ada pula yang mengatakan bahwa UUD 1945 mengatur pemberhentian Presiden (adanya impeachment). Dalam hal ini fungsi penjelasan sangat penting guna memenuhi kejelasan dari permasalahan tersebut.
Penjelasan UUD RI 1945 sebagai bagian yang tak terpisahkan dari batang tubuh UUD 1945 menjadi bagian yang tidak sekedar informasi otentik namun juga menjamin kepastian hukum. Lalu bagaimanakah penjelasan UUD 1945 ini memberikan keterangan mengenai pemberhentian Presiden (adanya impeachment), yang dalam batang tubuh UUD tidak menyebutkan secara jelas mengenai hal tersebut.
Dalam hubungan dengan kedudukan Kepala Negara atau Pemerintahan, ‘impeachment’ berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukannya dalam masa jabatan. Hampir semua konstitusi mengatur soal ini sebagai cara yang sah dan efektif untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berada di jalur hukum dan konstitusi. Namun Batang Tubuh UUD 1945, memang tidak menyinggung soal ‘impeachment’ secara ‘letterlijk’.
Berpijak dari permasalahan tersebut bahwa belum ada kejelasan pengaturan mengenai pemberhentian presiden yang diatur oleh UUD 1945 pasca amandemen dalam hal ini fungsi sebuah penjelasan UUD 1945 sebagai bagian yang tak terpisahkan dari UUD 1945 menjadi sangat penting.

analisis yuridis terhambatnya perwujudan tujuan negara Indonesia sebagai welfare state dalam segi politik hukum (studi terhadap Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal)

Sejak Negara Indonesia didirikan dari tahun 1945 para pendiri negara telah meneguhkan janji bersama rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Cita -cita tersebut dirumuskan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang pemerintah berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Demikian pula perwujudan negara kesejahteraan ini juga dituangkan dalam pasal 33 yang memberi kekuasaan bagi pemerintah untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang penting untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan memberikan jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak terlantar.
Negara Kesejahteraan (welfare state) adalah sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan sosial secara terencana, melembaga, dan berkesinambungan. Suatu negara dikatakan sejahtera apabila memiliki empat pilar utama yaitu : (1) Social citizenship, (2) Full democracy, (3) Modern industrial relation systems, dan (4) Rights to education and the expansion of modern mass education systems. Gagasan ini muncul pada akhir abad 19 dan mencapai puncaknya pada era "golden age" pasca Perang Dunia II (Yogyakarta, 7 Desember 2009 http://www.nasyiah.or.id)
Berpijak dari cita-cita perwujudan Negara Kesejahteraan (welfare state) inilah pemerintah mencoba untuk membangun bangsa melalui investasi, hal ini dikarenakan investasi sangat penting untuk menggerakkan perekonomian negara yang pada gilirannya menciptakan kesejahteraan bangsa. Kesejahteraan itu wajib dinikmati setiap anak bangsa karena itulah hakikat demokrasi dan tujuan kita berbangsa dan bernegara. Dalam rangka inlah pemerintah menetapkan kebijakannya untuk membingkai rencana dalam bidang investasi tersebut dengan sebuah legalitas hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Kelahiran Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dilatarbelakangi oleh lesunya iklim investasi di Indonesia. Bukan hanya pemodal asing yang enggan berinvestasi di Indonesia, investor lokal juga lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di luar negeri.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan realisasi investasi (izin usaha tetap) penanaman modal dalam negeri selama Januari sampai Oktober 2006 mencapai Rp13,55 triliun atau turun 18,57% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2005. Realisasi investasi penanaman modal asing juga turun sebesar 47,6%. Penurunan realisasi itu berkorelasi linear dengan pembukaan lapangan kerja baru (Yogyakarta, 7 Desember 2009, http://www.opini.wordpress.com).
Rendahnya arus investasi memang disebabkan oleh kondisi ekonomi dunia yang tengah dilanda kemelut. Krisis ekonomi yang melanda dunia sejak tahun 2007, dan mencapai puncak pada tahun 2008, adalah sesuatu yang berkontribusi terhadap semakin melamahnya foreign direct investmen (FDI) di banyak negara di dunia. Pada umumnya, negara yang menjadi sumber FDI adalah negara maju, tetapi kini lebih memfokuskan pada masalah internal mereka, bahkan anggaran negara, cadangan devisa diarahkan untuk menginjeksi perbankan yang mengalami kebangkrutan dan bursa-bursa saham yang ambruk akibat krisis keuangan (Yogyakarta, 7 Desember 2009, http://papernas.org ).

Akan tetapi, Pemerintah Indonesia tampaknya kurang menyadari hal ini. Pemerintah Indonesia masih saja berusaha untuk tetap merangsang foreign direct investmen FDI dengan berbagai instrument liberalisasi dan pembukaan ekonomi dalam negeri untuk penanaman modal seperti salah satunya adalah dilahirkannya Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal.
Kehadirian Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal diharapkan dapat membuka minat investor, membuka lapangan kerja sehingga dapat mempercepat pembangunan ekonomi nasional. Namun kenyataannya justru bertolak belakang dengan harapan dilahirkannya undang-undang No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal tersebut. Ketika Undang-undang ini baru menjadi Rancangan sudah menimbulkan banyak kontroversi di kalangan masyarakat dikarenakan watak undang-undang yang sangat liberal dan pro pada modal asing, bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan salah satu pasal tentang hak pengusasaan atas tanah selama 95 tahun karena dinilai melanggar UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Belum pernah sepanjang sejarah tanah di Negara ini dapat dikuasasi asing dalam tempo yang begitu lama, bahkan di jaman Hindia Belanda sekalipun. Bahkan usia Negara ini pun baru 63 tahun, ini tentu kemerdekaan yang lain yang diserahkan oleh konstitusi kita kepada modal besar asing.
Mencermati uraian permasalahan tersebut menimbulkan pertanyaan penting yaitu bagaimanakah dengan tujuan awal dari para pendiri bangsa untuk mewujudkan bangsa Indonesia sebagai welfare state? Apakah keberadaan Undang-undang ini justru tidak bisa mendorong perwujudan Negara Indonesia sebagai welfare state atau justru sebaliknya yaitu sebagai penghambat terwujudnya tujuan negara sebagai negara kesejarteraan (welfare state)?