Change Your Self to a Star

Change Your Self to a Star

Senin, 15 Februari 2010

Tinjauan Yuridis tentang peranan social control terhadap pengadaan barang dan jasa pemerintahan”

Bangsa Indonesia yang sedang giat dalam melaksanakan reformasi pembangunan sangat membutuhkan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Salah satu kondisi tersebut adalah penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai dengan jiwa reformasi. Terlebih Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Oleh karena itu, negara menghendaki setiap perbuatan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.
Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan pada masa kini baik dari segi kualitas maupun kuantitas maka pemerintah merasa perlu untuk membentuk peraturan perundangan di luar kodifikasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjangkau tindak-tindak pidana yang belum ada pengaturannya dalam KUHP. KUHP dan KUHAP dibentuk sebagai perwujudan untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Kepastian hukum tidak saja memberikan perlindungan hukum kepada para justisiable, tapi juga memberikan kepastian antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya, sehingga tidak ada pertentangan diantara peraturan perundangan tersebut.
Demikian juga dengan UU No 31 Tahun 1999 dibentuk untuk dapat mengatasi perkembangan kejahatan yang pengaturannya tidak ada dalam undang-undang hukum pidana. Melihat bahwa korupsi merupakan suatu tindak kejahatan yang sangat merugikan bagi seluruh bangsa Indonesia dan dianggap sebagai penghambat pembangunan nasional, maka pemerintah berusaha keras untuk memberantas korupsi.
Pada dasarnya korupsi dibentuk oleh perilaku kejahatan yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan umum dan hubungan kerja yang mendatangkan sumber keuangan. Oleh karena itu korupsi terjadi melalui kelemahan sistem birokrasi penyelenggaraan pelayanan umum dan kelemahan sistem kontrol pada hubungan kerja yang mendatangkan sumber keuangan, dengan memanfaatkan situasi tertentu dari siklus pertumbuhan negara, perkembangan sistem sosial dan keserasian struktur pemerintah.
Menurut pengertian awam pemakaian istilah korupsi adalah memiliki suatu konotasi dengan “korupsi pejabat” apabila seseorang menerima pemberian yang disodorkan oleh pihak lain dengan tendensi untuk mempengaruhi orang tersebut agar memberikan perhatian pada kepentingan-kepentingannya.
Kasus nyata yang banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat yaitu dalam suatu kantor atau departemen yang banyak dijangkiti korupsi senantiasa terjadi persekongkolan transaksi-transaksi keuangan bersifat ilegal, dimana semua itu cenderung mengatasnamakan efisiensi birokrasi.
Berkaitan dengan hal tersebut saat ini sedang maraknya para pejabat daerah atau pusat yang tersandung jeratan tindak pidana korupsi baik itu karena kesengajaan atau ketidak pahaman prosedur, yaitu dalam hal ini prosedur yang dimaksud adalah proyek pengadaan barang dan jasa instansi pemerintahan yang banyak sekali merugikan keuangan negara.
Menurut data yang diperoleh dari salah satu pimpinan KPK, Kerugian negara akibat korupsi pengadaan barang dan jasa selama 2005 sampai 2009 mencapai Rp689,19 miliar atau 35 persen dari total nilai proyek sebesar Rp1,9 triliun. Hal ini dikemukakan Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tumpak Hatorangan Panggabean, di sela-sela Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Rabu (2/12). "Itu berdasarkan data perkara dari tahun 2005 sampai 2009 yang ditangani KPK," kata Tumpak. Kerugian negara tersebut sebagian besar terjadi karena proses penunjukan langsung dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Jumlahnya mencapai Rp647 miliar atau 94 persen dari total kerugian negara. Sementara sisanya diakibatkan oleh praktik penggelembungan harga, yaitu sebesar Rp41,3 miliar atau enam persen dari total kerugian negara. Tumpak menjelaskan, kerugian negara itu dihitung dari vonis perkara-perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung .
Pengadaan barang/jasa adalah salah satu isu terpenting dalam pengelolaan keuangan daerah. Kegiatan yang selalu tercantum setiap tahun dalam APBD ini sering tidak bisa terealisasi sepenuhnya karena aparatur pemerintah memiliki kekuatiran terjerat perkara korupsi. Pengadaan barang/jasa pemerintah dapat diartikan proyek pembelanjaan dana APBN/APBD untuk kegiatan rutin dan pembangunan yang dapat dilakukan secara swakelola atau oleh pihak penyedia barang/jasa. Praktek pengadaan proyek fiktif, pengelembungan anggaran, pemberian angpau, suap, komisi dan sejenisnya diduga masih membudaya sebagai kesempatan untuk memperkaya diri.
Sejalan dengan bergulirnya reformasi politik, pemerintah berupaya kuat untuk mengurangi menguapnya uang negara dari kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilakukan instansi pemerintah. Selain itu peran pengawasan yang dilakukan oleh instansi non pemerintah semakin meningkat. Sistem pengadaan barang/ jasa juga semakin disempurnakan diantaranya dengan membuat Keppres No 80 Tahun 2003 (sekarang direvisi oleh Perpres No. 8 tahun 2006) yang mensyaratkan transparansi dan akuntabilitas. BPKP dan BPK juga sudah lebih intensif melakukan audit keuangan terhadap proyek-proyek pengadaan barang/jasa yang dilakukan instansi pemerintah. Hal ini tentunya sebagai salah satu upaya yang diharapkan bisa mengurangi tingkat kebocoran pada proyek-proyek pengadaan barang dan jasa di Instansi Pemerintah. Upaya lainnya adalah penegakan hukum yang semakin semakin gencar untuk menangkap pelaku kasus korupsi dari kegiatan pengadaan barang dan jasa ini.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Peraturan Pemerintah dimaksud, antara lain menjelaskan bahwa yang dimaksud peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan penyelenggaraan negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang dilaksanakan dengan menaati norma hukum, moral dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Dengan demikian 2 (dua) hal penting yang perlu diperhatikan elemen masyarakat adalah:
1. Tindakan hukum terhadap pelaku tindak KKN yang khusus ditujukan kepada para Penyelenggara Negara dan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN baik di pusat maupun di daerah. Sebab hal yang paling krusial yang kerap terjadi KKN di daerah adalah pengadaan barang dan jasa, pengerjaan dan pengadaan barang harganya kerapkali dinaikkan (mark up) atau tidak sesuai dengan bestek.
Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan dapat lebih terbuka dalam melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap Penyelenggara Negara (aparatur pemerintah daerah) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan yang berlaku.
Dugaan masih banyaknya uang negara yang dikorupsi dari kegiatan pengadaan barang dan jasa adalah karena pemeriksaan proyek yang dilakukan oleh BPK dan instansi lainnya lebih banyak terfokus pada prosedur administrasi dan keuangan. Akibatnya pelaku korupsi merasa aman dan terbebas karena berupaya selihai mungkin membuat laporan administrasi dan keuangan secara benar (sesuai prosedur). Disisi lain motode pemeriksaan proyek saat saat ini kurang mendukung untuk mengukur terselanggaranya prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa terutama yang efisien, efektif, serta akuntabilitas. Oleh karena itu sudah selayaknya dipertimbangkan adanya social control dari masyarakat secara langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentarnya..