Change Your Self to a Star

Change Your Self to a Star

Senin, 15 Februari 2010

Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT)

Analisis terhadap Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT) Sebagai Upaya Penyederhanaan partai politik di Indonesia dalam Perspektif Undang-Undang No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Oleh: Recca Ayu Hapsari

ABSTRACT
This research studies and answers the problem concerning how Electoral Threshold (ET) and Parliamentary Threshold (PT) can be used as the attempt of simplifying the political party in Indonesia in Act No.10 of 2000 perspective on the General Election of Legislative Assembly’s, Local Representative Assembly’s, and Local Legislative Assembly’s Members. In addition the study also aims to find out the correlation between Electoral Threshold (ET) and Parliamentary Threshold (PT) with the probability of district system application in the attempt of simplifying the political party in Indonesia.
Keywords: Electoral Threshold (ET), Parliamentary Threshold (PT), multi-parties system, and party simplification.
Pendahuluan
Dalam perwujudan demokrasi, pemilu di Indonesia diselenggarakan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Memang ini merupakan kombinasi antara sistem proporsional dengan sistem distrik, namun pada kenyataannya tetap saja sistem pemilihan ini telah memicu fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru, sehingga lahirlah sistem multipartai di Indonesia. Sistem perwakilan berimbang cenderung menciptakan fragmentasi partai politik dibanding sistem pemilihan lainnya karena prinsip sistem ini adalah adanya kesejajaran antara jumlah suara pemilih dengan kursi yang diperoleh di lembaga perwakilan rakyat. Akibatnya, mendorong kelompok-kelompok minoritas untuk membentuk partai politik tersendiri, bukan menyalurkan aspirasi politiknya dengan partai yang telah ada, dan ikut bertanding dalam pemilu, karena berapapun jumlah suara yang diperoleh akan mendapat kursi di parlemen asalkan memenuhi kuota yang telah ditetapkan. Fragmentasi ini menyababkan ketidakstabilan politik.
Di gunakannya sistem multipartai yang plural ekstrim yang sekarang ini berlaku di Indonesia di satu sisi terdapat nilai positifnya yaitu dengan banyaknya partai maka kesempatan untuk berkumpul, berpendapat dan berserikat lebih bebas. Namun dilihat dari segi negatifnya banyak pakar Hukum Tata Negara yang menyatakan banyaknya jumlah partai dinilai kurang efektif dan efisien. Hal ini disebabkan dengan banyaknya jumlah partai politik yang duduk di parlemen, pemerintah dalam menjalankan kerjanya kurang efektif sehingga menyebabkan terganggunya stabilitas politik dan pemerintahan. Akar permasalahan tersebut juga dipengaruhi dengan sistem politik yang diimplementasikan oleh Indonesia, yaitu sistem presidensial dan sistem multipartai.
Kondisi itulah yang membuat digagasnya sebuah upaya penyederhanaan sistem multipartai di Indonesia. Yaitu dengan memberlakukan ambang batas (threshold). Electoral Threshold baik dalam pasal 142, pasal 143 UU No. 12 Tahun 2003 serta pasal 315 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di definisikan sebagai ambang batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Kemudian sebagai wacana baru dalam mengupayakan penyederhanaan partai politik adalah dapat dilakukan dengan menggunakan sistem distrik. Hal ini dapat ditelusuri dengan menganalisis korelasi antara Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT) dengan kemungkinan penerapan sistem distrik ini dalam upaya penyederhanaan partai politik.
PEMBAHASAN
1. Analisis Electoral Threshold (ET)
Upaya penyederhanaan sistem multipartai melalui Electoral Threshold (ET) ini adalah sebagai ambang batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Artinya berapapun jumlah kursi yang diperoleh di parlemen, untuk turut kembali dalam pemilu berikutnya harus mencapai angka electoral threshold itu.
Dalam Undang-undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang merupakan revisi dari Undang-undang No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yaitu dicantumkan dalam pasal 315 dan 316, yang berbunyi:
Pasal 315
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.

Pasal 316
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Apabila mencermati bunyi pasal 316 yang mengharuskan bagi partai politik yang tidak memenuhi ambang batas yang telah ditetapkan dalam pasal 315 tersebut bergabung dengan partai politik yang memenuhi atau membentuk partai politik baru, telah memunculkan beberapa analisis mengenai ketentuan tersebut. Adapun analisis tersebut yaitu bahwa pemaksaan politik kearah penggabungan juga akan membawa situasi kepada masa lalu, ketika partai-partai peserta Pemilu 1971 melebur ke PPP, PDI dan Golkar jelang Pemilu 1977. Keadaan itu justru memicu terbentuknya rezim otoriter-birokratik yang tanpa kritik internal. Secara perlahan, demokrasi berhasil dibunuh, lalu kebijakan pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya alur pikir bangsa Indonesia.
Namun jika mencermati bunyi pasal 316 huruf d ini justru akan memunculkan pandangan lain terhadap sistem Electoral Threshold (ET) ini. Munculnya ketentuan tentang diperbolehkannya partai peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi threshold sebagaimana disyaratkan dalam Undang-undang pemilu apabila mempunyai kursi di DPR RI hasil pemilu 2004 maka dapat mengikuti pemilu 2009 tanpa harus melakukan penggabungan ataupun membentuk partai baru. Adanya pasal 316 huruf d dalam Undang-undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut kembali menimbulkan pertanyaan tentang konsep penyederhanaan partai politik yang dapat mengikuti pemilu khususnya tahun 2009. Sebab ketentuan tersebut justru mereduksi konsep penyederhanaan partai yang akan diupayakan di Indonesia. Namun dengan adanya putusan Makhamah Konstitusi No. 12/PUU-V/2008 terhadap ketentuan pasal 316 huruf d tersebut yang menyatakan bahwa pasal 316 huruf d sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 12/PUU-V/2008 yang membatalkan ketentuan pasal 316 huruf b tersebut.
Bahwa ketentuan Electoral Threshold (ET) tersebut pada dasarnya dapat berpotensi melanggar konstitusi, sebab membatasi hak berserikat dan berkumpul serta hak dipilih, memilih yang telah jelas tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yaitu dalam pasal 28E ayat 3 yang berbunyi bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Partaipun terpaksa bubar karena penerapan ET. Sebab kebebasan mendirikan partai politik adalah bagian esensial dari hak konstitusi yang telah dirumuskan oleh founding father dalam UUD RI tahun 1945. Hal itu sejalan dengan pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik (civil and political rights) dalam instrumen hukum internasional yang kemudian dimasukan dalam amandemen UUD 1945 dengan penyisipan Bab XA ”Hak Asasi Manusia”.
2. Analisa Parliamentary Threshold (PT)
Ketentuan Parliamentary Threshold (PT) merupakan syarat ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk di parlemen. Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Ketentuan tersebut baru diterapkan dalam pemilu 2009 nanti, tentunya ketentuan tersebut dirumuskan secara implisit dalam pasal 202 Undang-undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun bunyi dari pasal tersebut adalah:
Pasal 202
1. Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota
Pasal 203

(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakanpada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.
(2) Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihalah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud`dalam Pasal 202 ayat (1).
(3) Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.

Guna mempermudah dalam memahami mengenai mekanisme pelaksanaan dari parliamentary threshold sebagai ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk di parlemen yang dirumuskan secara implisit dalam pasal 202 Undang-undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun bunyi dari pasal tersebut, maka dapat diamati pada skema berikut












Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdapat ketentuan adanya parliamentary threshold sebesar 2,5 % dari suara sah nasional. Dengan adanya ketentuan parliamentary threshold, partai politik untuk dapat duduk di parlemen maka harus mencapai angka 2,5 % dari suara sah nasional, dengan begitu maka partai politik tersebut berhak untuk menempatkan wakilnya di parlemen.
Pada penentuan perolehan kursi DPR menggunakan sistem sisa suara terbesar (largest remainder) varian hare dengan syarat. Penentuan kursi partai dilakukan setelah ada pengurangan suara dari parta-partai yang tidak memenuhi Parliamentary Threshold dan sisa kursi yang belum habis dibagi pada penghitungan pertama disebuah daerah pemilihan diberikan kepada partai yang mendapat suara lebih dari 50% BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Apabila masih terdapat sisa kursi di sebuah daerah pemilihan tetapi perolehan suara sisa partai tidak mencapai 50% BPP maka suara partai diakumulasikan ditingkat provinsi untuk dibuat bilangan pembagi pemilih yang baru untuk menetukan partai yang berhak mendapat kursi.
Implikasi dari penghitungan perolehan kursi tersebut adalah pada penghitungan perolehan suara partai di DPR, partai-partai besar akan diuntungkan dan partai-partai kecil dan menengah akan dirugikan. Hal ini dikarenakan penentuan perolehan jumlah kursi didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap partai politik setelah dikurangi perolehan suara partai-partai yang tidak memenuhi Parliamentary Threshold sebesar 2,5%. Adanya pengurangan tersebut menegaskan bahwa dengan Parliamentary Threshold ini partai-partai besar akan diprioritaskan untuk memperoleh kursi DPR berdasarkan perolehan suara sahnya terlebih dahulu dari pada partai-partai kecil dan menengah yang hanya akan memperoleh kursi sisa, itupun jika terdapat sisa kursi. Dengan demikian Penerapan PT dapat menjadi disintensif bagi para elit politik, sebab mereka terpaksa harus serius terhadap perkembangan dan pertumbuhan partai, bagi mereka memperbesar eksistensi parpol jauh lebih penting ketimbang memperebutkan 1-2 kursi diparlemen. Parliamentary Threshold (PT) dapat menjadi jembatan untuk menghadirkan parpol besar dan kuat dikemudian hari. Dengan demikian akan tercipta dengan sendirinya penyederhanaan partai.
Parliamentary Threshold (PT) dinilai akan lebih efektif dalam menyederhanakan partai secara natural dan tidak melanggar hak berserikat yang dimiliki setiap warga negara Indonesia. Parliamentary Threshold (PT) dinilai lebih efektif mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu karena jelas “punishment” nya. Partai politik yang tidak mampu mencapai ambang batas yang telah ditetapkan tidak diperbolehkan untuk mengirimkan wakilnya di parlemen.
Hak rakyat untuk membuat partai politik dan hak politik untuk ikut pemilu. Tetapi untuk masuk ke parlemen ada mekanisme yang harus ditempuh yaitu Parliamentary Threshold (PT). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar partai politik dibentuk tidak hanya sekedar untuk ikut pemilu tapi partai politik dibuat supaya fungsi-fungsi partai politik dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga partai politik dapat menjadi wahana dan sarana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dan rakyat pun akan kembali menghormati dan menghargai partai politik karena sesungguhnya demokrasi tidak akan ada tanpa partai politik.
Korelasi antara Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT) dengan kemungkinan penerapan sistem distrik dalam upaya penyederhanaan partai politik di Indonesia

Mencermati kondisi tersebut tentunya dapat disimpulkan bahwa peluang penyederhanaan partai politik pada suatu negara yang bersistem pemilu proporsional melalui Electoral threshold dan Parliamentary Threshold akan kurang berhasil. Sebab sistem pemilu yang digunakan tidak memiliki dukungan terhadap upaya penyederhanaan partai politik, justru malah sebaliknya, yaitu berpotensi mempermudah fragmentasi partai dan memperbanyak jumlah partai politik. Fragmentasi partai ini terjadi karena dalam sistem proporsional sering dikombinasikan dengan sistem daftar sehingga memicu konflik internal dalam suatu partai anggotanya cenderung akan memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru untuk memperoleh beberapa kursi dalam parlemen melalui pemilu, sehingga kurang menggalang kekompakan dalam tubuh partai. Dari hal inilah akhirnya jumlah partai politik akan semakin bertambah, sebab pengecualian ketentuan electoral treshold dalam Undang-undang pun memperbolehkan untuk mengikuti pemilu berikutnya asalkan memiliki kursi di DPR dari hasil pemilu sebelumnya. Lalu dalam perkembangannya banyak pula partai lama mengubah namanya atau menambahkan satu kata di belakang nama partai sebelumnya, seperti terjadi pada partai keadilan yang berubah nama menjadi partai keadilan sejahtera, atau Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) metamorfosis dari Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Artinya partai yang tidak memenuhi Electoral threshold tetap ikut pemilu berikutnya dengan karakter partai serta pengurus partainya tidak berubah. Ketentuan inipula yang menyebabkan perkembangan partai politik peserta pemilu dari tahun 2004 ke pemilu 2009 justru semakin bertambah.
Adanya pandangan bahwa sistem proporsional mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru, juga diperkuat oleh Duverger. Bahwa disebutkan pada sistem proporsional akan cenderung membentuk sistem multipartai sedangkan sistem distrik/pluralitas akan membentuk sistem dua partai. Klausa bahwa sistem plurality/majority/distrik akan membentuk sistem dua partai sering disebut sebagai hukum Duverger (Duverger’s Law) sedangkan klausa yang menyatakan bahwa sistem proporsional akan membentuk sistem multipartai disebut dengan hipotesis Duverger (Duverger’s Hypothesis).
Terciptanya relasi tersebut diatas karena bekerjanya dua hal yaitu efek mekanis dan efek psikologis dari sistem pemilu. Pertama, efek mekanis dari sistem pemilu. Efek ini bekerja terhadap partai akibat dari aplikasi langsung aturan pemilu dalam mengkonversi suara menjadi kursi. Dalam pembagian kursi beberapa partai terutama partai yang besar akan mendapatkan proporsi kursi yang lebih besar dibandingkan perolehan suaranya sehingga terjadi representasi yang berlebihan dan representasi yang terbatas bagi partai kecil.
Pada efek psikologis dari sistem pemilu datang dari reaksi pemilih dan partai terhadap konsekuensi yang muncul dari pelaksanaan aturan pemilu. Pada sistem distrik, elit berusaha menahan diri membentuk partai karena tahu ini sangat sulit bagi partai kecil untuk mendapatkan kursi. Disisi lain banyak partai yang ikut pemilu dalam sistem proporsional karena peluang mendapatkan kursi sangat besar. Efek psikologis dari sistem pemilu juga berpengaruh terhadap strategi pemilih. Pada sistem distrik pemilih cenderung akan memilih kandidat yang memiliki peluang besar untuk menang. Apabila pemilih menyukai kandidat yang peluang menangnya kecil maka mereka akan mengubah pilihannya kepada kandidat yang memiliki peluang menang. Sementara strategi pemilih pada sistem proporsional, pemilih tetap akan memilih partai meskipun dikalkulasikan partai itu hanya mendapat sedikit suara bahkan tidak mampu menempatkan wakilnya di parlemen.
Dengan mengacu pada pemikiran Duverger tersebut dapat dikatakan sistem proporsional mempermudah fragmentasi dan timbulnya partai-partai baru. Situasi itu akan sangat mempengaruhi bagaimana konsensus atau konfrontasi antara badan legislatif dengan badan eksekutif. Sedangkan pada sistem distrik mendorong kearah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu.
Memang pada dasarnya tidak ada sistem pemilu yang sempurna, sebab beberapa sistem pemilu tersebut merupakan bentuk tawar menawar atau kompromi antara berbagai macam prinsip karena tidak ada satu sistem pun yang dapat memenuhi semua prinsip secara sempurna. Prinsip mana yang lebih penting harus ditentukan berdasarkan acuan terhadap keadaan dan kebutuhan setiap negara.
Indonesia saat ini sedang membutuhkan pemerintahan yang stabil dan efisien serta akuntabilitas publik pemerintah dan wakil-wakil rakyat. Hal ini dikarenakan adanya penerapan sistem multipartai telah mengakibatkan secara tidak langsung kestabilan pemerintah menjadi terganggu. Hal inilah yang akan menjadi prioritas utama bagi Negara Indonesia dalam menata kembali sistem politiknya termasuk di dalamnya sistem pemilu serta prosesnya.
Guna menganalisis korelasi antara Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT) dengan kemungkinan penerapan sistem distrik ini dalam upaya penyederhanaan partai politik maka perlu ditentukan terlebih dahulu indikator apa yang akan digunakan untuk menguji keduanya. Dari segi Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT), indikasi yang akan digunakan yaitu ambang batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya dan syarat ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk di parlemen. Serta dari segi sistem Distrik adalah The first past the post / The winner take all dan Stembus Accord.
Dalam hal ini korelasi yang dimaksud adalah menghubungkan diantara kedua variable tersebut yaitu Electoral Threshold (ET), dan Parliamentary Threshold (PT) dengan sistem distrik apakah keduanya mempunyai tujuan yang sama/sejalan yaitu penyederhanaan partai politik sehingga akan saling mendukung/ berpeluang atau justru sebaliknya.
1. Electoral Threshold (ET), dan Parliamentary Threshold (PT)
Upaya penyederhanaan sistem multipartai melalui Electoral Threshold (ET) ini adalah sebagai ambang batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Sistem Parliamentary Threshold (PT) merupakan syarat ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk di parlemen.
2. Sistem Distrik
Sistem pemilihan distrik adalah suatu sistem pemilihan yang wilayah negaranya dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang jumlahnya sama dengan kursi yang tersedia diparlemen. Setiap distrik pemilihan hanya memiliki satu orang wakil dari calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai politik atau organissasi peserta pemilu. Oleh karena itu, sistem ini biasa disebut “single-member constituency”. Pihak yang menjadi pemenang atau calon terpilih adalah adalah pihak yang memiliki suara mayoritas dalam distrik tersebut (Jimly Asshiddiqie, 2006:181).
Hal tersebut telah sesuai dengan pandangan Duverger bahwa upaya mendorong penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan menggunakan sistem distrik. Dengan penerapan sistem distrik dapat mendorong penyederhanaan partai tanpa harus melakukan paksaan. Serta terkait pula dengan indikator uji dari sistem distrik dapat penulis analisis sebagai berikut.

a. The first past the post / The winner take all
Sistem distrik didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (distrik) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan yang kira-kira sama jumlah penduduknya. Karena satu distrik hanya berhak atas satu wakil maka calon yang memperoleh saura pluralitas (suara terbanyak) dalam distriknya dapat menang. Hal ini dinamakan The first past the post. Suara-suara yang mendukung para calon lain yang kalah dianggap hilang dan tidak dapat dihitung membantu partainya di distrik lain, betapa kecil pun selisih kekalahannya. Sistem distrik ini merangsang partai kecil untuk membubarkan diri atau menggabungkan diri dengan partai lain, agar menjadi mayoritas.
b. Stembus Accord
Kelebihan sistem distrik dalam menyederhanakan jumlah partai pada kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik hanya satu, yang kemudian akan mendorong ke arah integrasi partai yaitu partai-partai menyisihkan perbedaan-perbedaan dan mengadakan kerjasama, sekurang-kurangnya menjelang pemilu. Proses kerjasama ini terjadi sebelum pemilu melalui apa yang disebut dengan Stembus Accord. Dengan berkurangnya partai pada gilirannya akan mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan meningkatnya stabilitas nasional.
Dari uraian terhadap analisa korelasi antara Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT) dengan kemungkinan penerapan sistem distrik ini dalam upaya penyederhanaan partai politik melalui indikator-indikator tersebut diatas maka dapatkan kesimpulan bahwa dalam hal ini keduanya saling mendukung satu sama lain sebab keduanya mempunyai tujuan akhir yang sama. Adapun tujuan dari keduanya yaitu mengefektifkan penyederhanaan partai politik melalui pemilu. Tentunya kombinasi antara Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT) dengan kemungkinan penerapan sistem distrik akan berpeluang lebih besar untuk menyederhanaan partai politik di Indonesia.
PENUTUP
KESIMPULAN

Bahwa terhadap analisa korelasi antara Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT) dengan kemungkinan penerapan sistem distrik ini dalam upaya penyederhanaan partai politik melalui indikator-indikator Threshold , The first past the post / The winner take all dan Stembus Accord, maka dapat disimpulkan antara Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT) dengan kemungkinan penerapan sistem distrik ini dalam upaya penyederhanaan partai politik keduanya mempunyai tujuan akhir yang sama yaitu penyederhanaan partai politik melalui pemilu. Serta tentunya kombinasi antara Electoral Threshold (ET) dan Parliamentary Threshold (PT) dengan kemungkinan penerapan sistem distrik akan berpeluang lebih besar untuk menyederhanaan partai politik di Indonesia.
SARAN

Apabila pemerintah Indonesia hendak mengupayakan penyederhanaan partai demi terciptanya stabilitas politik dan efisiensi demokrasi maka penting untuk mengkaji kesesuaian dari sistem distrik ini sebagai upaya penyederhanaan partai. Sebab berdasarkan analisa penulis dengan sistem distrik akan menciptakan peluang lebih besar dalam penyederhanaan partai.



DAFTAR PUSTAKA


BUKU

Dadang Juliantara. 2002. Negara Demokrasi Untuk Indonesia. Solo: Pondok Edukasi

Himawan S. Pambudi & Siti Fikriyah. 2003. Menuju Demokrasi Terkonsolidasi. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama

Jimly Asshiddiqie. 2005. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik Dan Mahkamah Konstitus., Jakarta: Konstitusi Press

. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press

. 2006. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press

Lexy J, Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Raskarya

Moh. Mahfud. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Rineka Cipta

Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum., Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Solly Lubis. 2000. Politik dan Hukum di Reformasi. Bandung: CV Mandar Maju

Sri Soemantri Martosoewignjo.1984. Pengantar perbandingan Antar Hukum Tata Negara. Jakarta: CV. Rajawali

Sutrisno Hadi. 1989. Metodologi Riset I. Yogyakarta: Yayasan Penerbit. Fakultas Psikologi UGM


UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 19945

Undang-undang No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Undang-undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-undang No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 12/PUU-V/2008

Peraturan Komisi Pemlihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum, Tatacara Penetapan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota


JURNAL

Aan Eko Widiarto. Jurnal Konstitusi. Hubungan Rakyat (Pemilih) Dengan Wakil Rakyat dan Partai Politik Vol 3 No.4 – Desember 2006

Chudry Sitompul. Jurnal Legislasi Indonesia. Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai Di Indonesia vol 5 No.1- Maret 2008

Jeane Neltje Saly. Jurnal Legislasi Indonesia. Pemahaman atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum vol 5 No.1- Maret 2008

Jimly Asshiddiqie. Jurnal Konstitusi. Partai Politik dan Pemilihan umum sebagai Instrumen Demokrasi Vol 3 No.4 – Desember 2006

Jurnal Konstitusi. Kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.24 Agustus-Maret 2008

Zafrullah Salim. Jurnal Legislasi Indonesia. Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia vol 5 No.1- Maret 2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentarnya..