Change Your Self to a Star

Change Your Self to a Star

Senin, 15 Februari 2010

Malaysia's Internal Security Act Versus KUHP Indonesia

Perang melawan terorisme mulai gencar diserukan diberbagai dunia dimulai sejak tanggal 11 september 2001, hal ini bertepatan dengan peristiwa pengeboman gedung WTC Amerika Serikat yang diduga sebagai aksi terorisme. Tak lama setelah itu di Tahun 2002 Indonesia pun mulai dihinggapi oleh beberapa aksi terorisme. Dimulai dari peledakan bom pertama kali di Kuta Bali tanggal 12 Oktober 2002, bom berkekuatan high explosive meledak di Sari Club dan Paddy's Cafe, Legian, Kuta, Bali yang mengakibatkan156 orang tewas hingga aksi mereka yang terakhir di Mega Kuningan Jakarta 17 Juli 2009 yang lalu. Dari peristiwa tersebut mencuatkan beberapa nama pelaku yang diduga sebagai motor penggerak aksi pengeboman tersebut, yaitu Dr Azahari dan Noordin M Top. Kedua pelaku tersebut diketahui ternyata merupakan warganegara Malaysia. Dr Azahari sendiri telah tewas pada penggrebekan di Batu, Malang Jawa Timur tanggal 9 November 2005, sedangkan Nordin M Top tewas pada tanggal 16 September 2009 di Mojosongo, Kota Solo setelah menjadi buronan selama 9 tahun.
Ini hanyalah kilas balik beberapa aksi para teroris asal Negeri Jiran tersebut beraksi di Tanah Air. Hal ini memunculkan pertanyaan, jika mereka dengan aksi terornya tersebut mempunyai misi untuk memusnahkan kaum yang mereka anggap kafir itu, mengapa mereka tidak pula melancarkan aksinya dinegaranya sendiri yaitu Malaysia yang juga banyak orang Asing di sana? Jawabannya adalah karena di Negara Malaysia memiliki Malaysia's Internal Security Act – ISA. Malaysia's Internal Security Act – ISA adalah Undang-undang yang memberikan untuk keamanan internal Malaysia, penahanan pencegahan, pencegahan subversi, yang diatur dari penindasan kekerasan terhadap orang dan properti di Malaysia.
Dalam Undang-undang yang dimiliki Malaysia tersebut menyebutkan “If the Minister is satisfied that the detention of any person is necessary with a view to preventing him from acting in any manner prejudicial to the security of Malaysia or any part thereof or to the maintenance of essential services therein or to the economic life thereof, he may make an order (hereinafter referred to as a detention order) directing that that person be detained for any period not exceeding two years”. Yaitu apabila ada orang yang dicurigai akan membahayakan keamanan Malaysia, maka Menteri berkuasa untuk dapat melakukan penahanan yang disebut sebagai tahanan order dengan tidak melebihi 2 tahun. Dengan Undang-undang tersebut seseorang yang diduga akan membahayakan keamanan negara Malaysia langsung dapat ditahan dengan kurun waktu tidak lebih dari 2 tahun sehingga para pelaku terorisme tentunya akan memiliki ruang gerak yang sangat sempit jika mereka akan beraksi di negara Malaysia.
Lalu bagaimana dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia? Di Indonesia proses penangkapan diatur dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP yang dinyatakan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Adapun yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup ialah bukti permulaan untuk adanya tindak pidana. Dari bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilkukan secara sewenang-wenang tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Jadi, penangkapan hanya berdasarakan dugaan saja, tanpa adanya bukti yang cukup tidak boleh dilakukan. Pasal 19 KUHAP disebutkan penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dapat dilakukan paling lama satu hari atau jangka waktu 1 x 24 jam dalam hal pemeriksaan, sedangkan untuk tindak pidana terorisme berdasar Pasal 28, maka Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 jam.
Dari komparasi kedua Undang-undang dua negara tersebut mungkin saja dapat menjawab pertanyaan kita selama ini yaitu mengapa kedua gembong teroris tersebut lebih senang untuk beraksi di Indonesia dari pada di negaranya sendiri yaitu Malaysia. Namun tidak menutup kemungkinan ada faktor lain yang mempengarui mengapa aksi terorime di Indonesia lebih sering terjadi dari pada di negara Malaysia mengingat para pelakunya berasal dari negara Malaysia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih atas komentarnya..